Cangkir

Buat kamu ahli bahasa di sini, saya malas mengetik “pemuda-pemudi” jadi saya singkat saja semuanya jadi “pemuda”. Tapi tetep maksudnya yang dibicarakan bukan yang laki doang, cewe juga iya.

Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, selamat riyadi. Terserah pilih yang mana, sesuaikan aja sama kondisi kamu kapan baca postingan ini. Kali ini judul post-nya agak puitis. Sengaja. Biar pada penasaran. Apekteh enggak. Hem.
Muzakki mencoba untuk menulis kembali setelah berhasil melewati berbagai rintangan di semester empat. Kali ini saya bakal coba bahas tentang..... cangkir. (Loh kok cangkir?) Iya cangkir. Cangkir itu profesi yang kerjanya di bank.

Okey. Cukup. Saya sudah muak.

Mungkin kamu masih bingung apa yang dimaksud dengan cangkir. Coba liat ke dapur. Banyak kan?
Atuhlah plis udahan. :((




Ada sebuah kata – kata yang hinggap di kepala saya, terus menerus. Entah siapa itu yang berbicara, saya lupa lagi. Mungkin mamah, papah, atau mungkin mang ujang (saha deui...). Kalimatnya gak panjang – panjang, hanya terdiri dari 3 kata, “Amanah Sebagai Pemuda”.

Waktu itu hampir setiap saat saya memikirkan hal ini. Mempertanyakan, “Emang amanah sebagai pemuda itu apa?”. Sebagai orang yang (saya tidak menemukan kata yang pas untuk sifat ini) di mana semua harus jelas, tentunya saya harus tau apa yang seharusnya saya kerjakan. Nah masalahnya di sini jika ditanya tugas sebagai pemuda itu seperti apa, bukan gak jelas sih, tapi terlalu luas. Ini lah yang menjadi bahan pemikiran saya selama ini, mencoba mengkerucutkan tanpa menghilangkan fungsi yang lain, tapi selalu gagal. Tugas pemuda, kompleks.

Banyak orang bilang tugas pemuda itu belajar-belajar-belajar agar bisa berguna untuk bangsa. Kalimat tersebut sungguh benar, tapi akan menjadi salah kita tafsirkan sebagai “tugas pemuda adalah belajar DOANG”. Lebih parah lagi kalau misalnya kata ‘belajar’ di situ ditafsirkan sebagai belajar pelajaran formal seperti pelajaran – pelajaran di sekolah SAJA. Banyak yang seharusnya bisa kita pelajari di luar kelas.

Jika waktu dan tenaga kita terus dipakai untuk belajar formal saja tanpa ada yang dialokasikan untuk membangkitkan rasa kepedulian sosial, untuk apa? Ilmu yang didapat hanya berguna untuk diri sendiri. Orang – orang disekitarnya tidak merasakan manfaatnya. Padahal seharusnya jika kamu berilmu banyak diharapakan bisa berkontribusi lebih untuk lingkunganmu bukan? Jika kepedulian sosial tidak dibina dari muda, gak bagus. Nanti yang diurus malah urusan untuk memperkaya diri sendiri saja.

Banyak orang yang berilmu, sibuk menempa dirinya sendiri dengan ilmu – ilmu formalnya, tanpa tahu kondisi lingkungan/negaranya sendiri. Sehingga ketika sudah besar, bingung mau berkarya lewat mana, mau berkontribusi lewat mana. Karena gak tahu, apa yang negaranya sedang butuhkan.
Contoh di atas merupakan contoh cangkir yang diisi air. Namun air-nya air yang ada di cangkir kedinginan dan terlanjur membeku. Sehingga sudah tidak bisa diminum lagi. Percuma ada airnya, tapi tak bermanfaat bagi yang lain.

Lalu yang seperti apa cangkir yang diinginkan?

Kembali bahasan kita ke pemuda. Saat memikirkan tiga kata “Amanah Sebagai Pemuda”, pikiran saya melayang menuju kondisi pemuda sekarang. Bagaimana tidak? Saya kan masih dibilang pemuda juga. Tentu saja, orang – orang di sekitar sayapun adalah seorang pemuda juga. Kata orang – orang, kita termasuk generasi yang self-centred. Di mana apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan, apa yang kita pamerkan, itu adalah semuanya tentang kita, diri sendiri. Kita merasa semua orang perlu tau hal – hal pribadi tentang kita. Dari pemikiran itu, mulailah turun menjadi sebuah aksi yang nantinya jadi kebiasaan, yaitu memamerkan pribadi kita. Sehingga semua orang tidak perlu mengenal kamu dengan usaha yang lebih (ngedeketin, ngajak jalan, dll), cukup nge-stalk aja, semua tentang kamu ada di media sosial.

Entah pemikirian saya yang orthodox atau memang kemajuan zaman mengatakan bahwa hal ini memang seharusya terjadi?  Kalau sudah jadi orang hebat, boleh lah menceritakan diri sendiri. Tapi gimana mau jadi orang hebat kalau misalnya masa mudanya dihabiskan dengan ‘mempromosikan’ diri sendiri ketimbang menempa diri? Dulu kalau galau ditulis di diary dan menjadi rahasia seakan – akan itu aib. Gak sembarang orang bisa baca diary orang. Sekarang orang galau diposting di sosmed, seakan – akan nyebar aib sendiri. Mungkin saat ngeposting soal galau, ia merasa orang lain akan menghampirinya lalu mencoba menghibur. Padahal kan..... emang iya.

Kronologisnya seperti ini. Kadang galau itu karena Anda sedang menghadapi sebuah masalah. Ketika Anda galau, Anda menyebarkan hal ini ke seluruh penjuru dunia dan beharap ada yang menghibur Anda. Ketika orang tersebut datang dan berhasil menghibur Anda, maka yang terjadi adalah.....  Anda lupa bahwa Anda punya masalah. Lari dari masalah tidak akan menyelesaikan masalah, ketika Anda berlari, masalah tersebut akan menunggu Anda di ujung jalan dengan masalah lainnya dan hal ini tentu saja akan menyebabkan Anda galau kembali. Mungkin itulah kenapa zaman sekarang sering banget liat orang galau.... pembenaran yang fantastis.

Oke, balik lagi. Ketika orientasi pemuda adalah mempromosikan diri, maka yang akan ia lakukan sebagian besar untuk kepentingan diri sendiri. Dia mempersolek diri agar dirinya diminati oleh orang lain. Mencoba membeli barang – barang baru seperti pakaian, aksesoris, atau bahkan potongan rambut baru, hanya untuk diposting di instagram. Sehingga yang ia tahu hanyalah tentang dirinya dan apa yang sedang ‘tren’ hari ini agar ia tetap bisa mengikuti zaman. Seperti... kamu berjalan tetapi gak liat kanan-kiri, bodo amat di belakang, kanan, kirimu ada apa. Padahal bangsa ini membutuhkan Anda, pemuda, sebagai kontributor pembangunan bangsa yang sedang berkembang ini, bukan sebagai insan yang sibuk dengan dirinya sendiri.

 Orang yang sibuk ‘mempersolek’ diri tadilah yang saya sebut cangkir yang dihias. Dia dibeli karena keindahannya. Mungkin hanya menjadi pajangan di lemari. Lama – lama berdebu.
Saya pernah bertanya jalan hidup mereka dan kebanyakan menjawab, “sekolah” – “kerja” – “dapet duit” (singkatnya begitulah). Uang. Uang sudah menjadi tujuan hidup. Ini kondisi yang bahaya. Namun mau gimana lagi, beginilah hidup di negeri ini yang serba uang, ada dalam sistem yang korup. Kalau mau selamat – aman – sejarahtera , kuncinya ya uang.

Kalau mau ngikutin idealisme yang bagus mah, “Kerja untuk berkarya, duit pasti bakal ngikut”. Tapi ‘katanya’, idealisme yang kayak gitu gak bekerja di dunia kerja. #TerusUrangHarusGimanaMoment
Memang lelah dan serbasalah jadi orang idealis. Tapi kalau kamu kuat, kamu pasti bisa bertahan. Tapi janganlah jadi sekeras batu, karena sekeras – kerasnya batu, akan dibuang juga (not include the gemstone. Please.).

Orang yang punya idealisme lah yang saya sebut cangkir yang berisi air. Berisi. Dipakai dan bisa bermanfaat untuk orang banyak. Air tersebut bisa masuk ke tubuh orang lain sehingga orang tersebut mungkin menjadi lebih segar, tidak kekeringan. Manusia butuh minum. Masyarakat butuh kamu. Don’t be useless. Negeri ini sudah banyak memberi kamu. Apa yang akan kamu berikan kepada negara?

Bukan berarti gak boleh bersolek. Tetep jangan berantakan lah covermu itu. Malah kamu harus membuat 'cover' mu agar terlihat bahwa kamu adalah cangkir yang siap diisi air. Ngapain sibuk kampanye soal "Don't judge a book by its cover" gak akan efektif, orang - orang akan selalu judge a book by it's cover, yang harus kamu lakukan adalah ya.... buatlah cover yang baik. Cover gak cuman soal 'paras', tapi soal sikap, attitude, perlakuanmu di depan publik.

Jadilah cangkir yang berisi air. Yang memberikan manfaatnya kepada orang banyak. 


P.S: Metrosexual, manusa yang bersolek. Ubersexual, tipa menusia yang unggul (beridealisme, pemimpin, dsj.) , ‘uber’ diambil dari kata “deutschland über alles”, yang artinya kurang lebih, “bangsa jerman itu bangsa yang unggul”. Silahkan pilih. :))

Comments

Popular posts from this blog

Harkos, Pengharkos, dan Diharkos

Fenomena Pajak Jadian

Memilih Optimis